Kontak Kami

Cari Blog Ini

Selasa, 11 September 2012

SEJARAH POLRI


Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah membentuk Jawatan Kepolisian Negara yang berada di bawah Departemen Luar Negeri. Pada 1 Juli 1946, kepolisian kemudian ditempatkan secara langsung di bawah tanggung jawab Perdana Menteri agar kepolisian menjadi alat negara yang independen dan bebas dari pengaruh politik pihak lain. Kepolisian Negara kemudian dimiliterisasikan dan diintegrasikan sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kelembagaan kepolisian memperoleh kembali independensinya pada masa reformasi. Meskipun status Polri telah banyak mengalami perubahan, namun identitas Polri tetap tidak berubah, yakni sebagai alat negara penegak hukum.
Konsep lembaga kepolisian telah terdapat dalam tatanan negara sejak masa feodal. Dasar-dasar organisasi kepolisian modern mulai terbentuk pada masa kolonial, walaupun murni demi kepentingan penjajahan. Ketika Jepang menduduki Indonesia semua perangkat kepolisian dijadikan satu di bawah nama besar kepolisian. Pada masa itu pula, didirikan institusi pendidikan kepolisian.
 
Pra-Kolonial
Pada sekitar abad ke-7 hingga 15, kegiatan pengamanan dan pembinaan stabilitas Negara (pemolisian) sudah dikenal oleh masyarakat Nusantara. Walaupun bentuk dan sifat kegiatan pemolisian tersebut masih bernuansa tradisional.

Sriwijaya
Kerajaan ini tercatat sebagai kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan armada lautnya yang kuat. Raja Sriwijaya memberlakukan suatu strategi pemolisian yang sesuai dengan kerajaan maritim, yakni pengamanan kawasan laut. Strateginya adalah merekrut para bajak laut Selat Malaka. Mereka dipekerjakan sebagai penjaga keamanan laut dan mengamankan aktifitas perniagaan kerajaan dari segala gangguan bajak laut lain yang tidak terikat kontrak dengan raja.

Majapahit
Perangkat alat pengamanan masyarakat yang diterapkan adalah bertipe ruler-apointed-police dalam bentuk pengawal pribadi raja. Nama perangkat kepolisian itu adalah Bhayangkara. Mahapatih Gajah Mada memimpin Bhayangkara sejak masih perwira muda hingga ia meninggal pada 1364. Penamaan Bhayangkara berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti anti bahaya. Pada mulanya nama ini menggunakan huruf “A” di depannya, yakni Abhayangkara. Namun karena percakapan sehari-hari berangsur-angsur pengucapan “A”-nya hilang. Akhirnya, Abhayangkara berubah menjadi Bhayangkara.
Bhayangkara ialah pasukan darat yang melakukan fungsi pemolisian. Terdiri dari dua jenis, yakni Bhayangkara Andhika untuk menjaga keamanan kota dan Bhayangkara Lelana untuk menjaga keamanan daerah. Satuan ini beranggotakan 15 orang.

Sedangkan pada 1651, VOC mengangkat satu jabatan untuk mengamankan daerah di luar Batavia, yakni Landdrost. Untuk membantu tugas Landdrost dibentuklah Korps Marechaussee dibawah pimpinan seorang Letnan dari Maluku. Korps ini berpatroli di daerah penduduk pribumi. Adanya korps baru ini membuat tugas Landdrost semakin berkurang. Maka pada 1798 jabatan ini digabungkan dengan jabatan Balyuw dari Batavia. Sehingga lahir jabatan baru, yakni Balyuw der Staad Batavia & Drossaard der Bataviasche Ommelanden (Balyuw dari Kota Batavia dan Drossard dari daerah sekitarnya). Jabatan baru ini dibantu seorang Schout dalam tugas pengamanan.
 
 
Kolonial  
 
Masa VOC 
Sistem kepolisian pada masa VOC pertamakali dibuat oleh J. P. Coen. Dimaksudkan untuk mengantisipasi kedatangan pedagang Inggris yang berniat dagang di Batavia. Coen berpikir, apabila tidak ada satuan pengamanan kota di Batavia ketika Inggris datang dan berdagang, ada kemungkinan Inggris akan segera menyusun pemerintahan dagang sendiri yang “anti Batavia”. Maka, ditunjuklah Jan Steyns van Antwerpen sebagai Balyuw, yang berkekedudukan sebagai Opsir Justisi merangkap Kepala Polisi. Dibawah Balyuw terdapat Polisi Kota yang dibantu para Wijkmeesters, seorang wakil bernama Subtituut, dan empat pembantu (kemudian menjadi 44), bernama diefleyders atau kaffers (penjaga maling) yang biasanya berpakaian merah. Selain itu, dibawah Balyuw ada ratelwatcht (Penjaga Malam) yang dilengkapi kleper. Tugasnya adalah ronda malam dan membunyikan kleper-nya sebagai peringatan kepada warga agar selalu waspada dan berjaga-jaga akan tindak kejahatan.
 

Era Hindia Belanda

Hindia Belanda
Selain satuan kepolisian yang resmi dan umum, sepanjang abad 19 di Jawa terdapat pula Polisi Desa yang terdiri dari dua macam, yaitu yang resmi (Jagabaya) dan yang tak resmi (polisi masyarakat). Biasanya Polisi Desa berasal dari kalangan Jago, Jawara, Bromocorah, atau Jagabaya. Jago adalah suatu kombinasi antara polisi setempat dan orang kuat, berani, berbakat mistik di pedesaan atau penjahat. Dengan kata lain para lurah itu menggunakan cara “menangkap maling dengan maling”. Tugas dari Jagabaya adalah membantu Lurah dalam menjaga tata-tentram dan menangani masalah pencurian, pembunuhan, perkelahian, dll. Metode kerja yang dipakai untuk mengusut kasus kejahatan kala itu memakai cara kekerasan (penahanan, penggeledahan paksa, siksaaan, sanderaan terhadap diri, teman atau keluarga si penjahat yang dicurigai, dll).

Pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels, di Batavia sering terjadi tindakan kriminal yang dilakukan oleh bekas prajurit Mataram. Kondisi demikian membuat Daendels memerintahkan untuk membentuk pasukan berkuda (Jayengsekar). Pasukan berkuda ini bertugas melakukan patroli keamanan di sekitar Batavia. Pasukan ini juga bertugas menjaga pertahanan dari kemungkinan serangan tentara Inggris.

Bentuk-bentuk kepolisian yang ada pada masa pemerintahan Hindia Belanda diantaranya adalah Algemenne Politie (Polisi Umum), Stadpolitie (Polisi Dewan), Gewapende Politie (Polisi Bersenjata), Veld Politie (Polisi Lapangan), Cultuur Politie (Polisi Perkebunan), dan Bestuur Politie (Polisi Pamong Praja). Sempat pula lembaga kepolisian menjadi Dienst der Algemene Politie yang secara struktural berada di bawah Pemerintahan Dalam Negeri (Departement van Binnenlandsch Bestuur). Sedangkan di daerah, kewenangan politik kepolisian ada di tangan residen. Para perwira polisi yang bertugas selaku kepala polisi lokal hanya menyandang wewenang teknis kepolisian (Technisch Leider).

Tahun 1811-1815 Inggris berhasil menguasai pulau Jawa di bawah pimpinan Sir Thomas Stanford Raffles. Pada masa ini sistem kepolisian mengalami perubahan yang cukup signifikan di mana dasar-dasar dan organisasi kepolisian di Indonesia mulai muncul lebih jelas apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Melalui Regulation 1814 Raffles membagi Pulau Jawa menjadi beberapa distrik atau kabupaten yang dipimpin bupati. Tiap kabupaten dibagi lagi menjadi divisi atau kawedanaan yang dipimpin wedana. Dalam tiap-tiap kawedanaan inilah terdapat station of police, yakni kantor Mantri Polisi dan pegawai kepolisian. Sedangkan pada tingkat desa tugas polisi dijalankan Kepala Desa (Headman) dan dibantu Penjaga Malam (nachtwacht).

Setelah Belanda kembali menguasai Jawa pada 1815, keluarlah peraturan mengenai tugas kepolisian tahun 1819, yaitu Provisioneel Reglement op de Crimineele Rechtsvordering bij het Hooggerechtshof en de Raden van Justitie (peraturan kepolisian bagi bangsa Eropa) dan Reglement op de Administratie der Politie en de Crimineele en Civiele Rechtsvordering onder den Inlander in Nederlandsch Indie (peraturan kepolisian bagi masyarakat pribumi dan Timur Asing). Menurut peraturan ini, rechtspolitie bagi bangsa Eropa dilakukan dibawah pengawasan Pokrol Jenderal (pimpinan utama semua pegawai kepolisian) yang pelaksaannya dilakukan para Opsir Yustisi (pimpinan semua pegawai bawahan polisi). Sedangkan Rechtspolitie untuk kalangan pribumi dan Timur Asing diserahkan kepada Kepala Desa yang berada dibawah komando dan pengawasan dari wedana dan bupati daerahnya masing-masing.

Dalam rangka membentuk organisasi kepolisian yang rapi dan teratur maka pada 1911 diadakanlah reorganisasi kepolisian kota-kota besar (Batavia, Semarang, dan Surabaya) dengan cara mensistematis-kan struktur komando dan kepangkatan. Pemerintah juga membentuk korps polisi baru, yaitu Polisi Lapangan (Veldpolitie) yang termasuk dalam susunan Polisi Umum. Kehadiran Polisi Lapangan secara langsung telah menghapus adanya Polisi Bersenjata yang kerap melakukan teror dan tidak dapat merebut kepercayaan rakyat sebagai penjaga keamanan.

Korps baru ini bertugas menjaga keamanan, ketertiban, dan ketenteraman (Velligheid, Orde en Rust) di luar ibukota keresidenan dan kabupaten. Lalu, untuk menangani masalah reserse dan politik luar kota maka dibentuklah Dinas Reserse Daerah (Gewestelijke Recherche). Kedua satuan baru tersebut dibentuk pada 1920, tatkala kegiatan dan perlawanan politik kaum Bumiputra terhadap pemerintah Kolonial tengah berkembang. Polisi Lapangan memiliki sifat tugas preventif, sedangkan Polisi Dinas Reserse bertugas lebih represif (polisi kriminal). Sebagai Polisi Kriminal di luar kota, Dinas Reserse ini membutuhkan satu agen khusus yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan tentang kegiatan politik dan perlawanan di daerahnya masing-masing. Maka dari itu, didirikanlah P.I.D, Politieke Inlichtingen Dienst (Badan Intelijen Polisi) pada Mei 1916.